Kamis, 22 Maret 2012

Sistem Sosial Poitik Indonesia



Berbagai Persoalan tentang konflik antar kekuatan-kekuatan sosial-politik di Indonesia memang masih banyak terjadi. Pertentangan-pertentangan justru terjadi di antara tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok sosial politik yang sebelumnya hasrat pengabdian mereka terhadap bangsa Indosia sangat kuat sehingga mewujudkan jiwa bahu-membahu dalam mewujudkan kemerdekaan di Indonesia.
Walaupun banyak orang yang menganggap konflik dan integrasi yang dialami bangsa Indonesia masih tidak separah yang dihadapi oleh negara malaysia atau india, kendati beberapa diantara mereka menganggap masalah konflik dan integrasi nasional lebih merupakan masalah yang dihadapi oleh Indonesia pada tahun-yahun lima puluhan.
Konflik dan integrasi nasional akan tetap menjadi masalah yang rawan bagi bangsa Indonesia untuk suatu jangka waktu yang masih cukup lama di masa-masa akan datang. Akan tetapi konflik-konflik sosial di dalam berbagai masyarakat memiliki derajat dan polanya masing-masing karena sumber yang ,menyebabkannya pun mempunyai ragam dan pola yang tidak sama pula.

Pendekatan teoritis

Sudut pandang yang mendapatkan perhatian pertama kali yaitu menganggap bahwa masyarakat pada dasarnya terintegrasi di atas dasar kata sepakat para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu general agreement yang memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota masyarakat. Ia memandang masyarakat sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam suatu bentuk equilibium. Fungsional integrasi bisa di kaji melalui :
1. Masyarakat harus dilihat sebagai suatu sistem daripada bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lain.
2. Hubungan mempengaruhi bagian-bagian yang bersifat ganda dan timbal balik.
3. Gerak equilibium yang bersifat dinamis : menanggapi perubahan yang datang dari luar dengan tetap mempertahankan sistem awal.
4. Meski adanya disfungsi, penyimpangan-penyimpangan tetapi akan terjadi proses institusionalisasi (ke arah perbaikan).
5. Terjadi secara gradual (perlahan).
6. Perubahan sosial timbul melalui tiga tahap : penyesuaian karena perubahan sistem dari luar, pertumbuhan karena diferensiasi struktural dan fungsional, dan penemuan baru oleh masyarakat.
7. Memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial adalah konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai kemasyarakatan.
Maka sistem sosial adalah suatu sistem tindakan yang terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi antara berbagai individu yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian yang disepakati bersama oleh masyarakat.
Pengaturan interaksi anggota terjadi karena comitmen mereka terhadap norma sosial yang menghasilkan daya untuk mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara mereka, suatu hal yang memungkinkan mereka menemukan keselarasan satu ama lain di dalam suatu tingkat integrasi sosial.
Menuru Talkot Parson pendekatan fungsionalisme struktural menekankan anggapan dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dari tingkah laku sosial.
Sebaliknya menurut David Lockwood menyebutkan sebagai substratum yakni disposisi yang mengakibatkan timbulnya perbedaan life chances dan kepentingan yang tidak bersifat normatif . situsasi sosial mengandung dua hal yakni tata tertib yang bersifat normtaif dan substratum yang melahirkan konflik-konflik. Jadi tata tertib dan konflik adalah dua kenyataan yang melekat bersama dalam tiap sistem sosial.
Kemudian adanya pandangan dasar tentang sistem sosial memiliki kecenderungan untuk mencapai stabilitas atau equilibium menganggap bahwa adanya disfungsi, ketegangan, dan penyimpangan sosial merupakan akibat dari faktor luar. Maka dari anggapan itu mengakibatkan adanya kenyataan tentang :
1. Setiap struktur sosial dalam diri mengandung konflik-konflik.
2. Reaksi dari pengaruh luar tidak selalu bersifat adjustive.
3. Sistem sosial dalam waktu panjang dapat menghasilkan konflik Visious circle.
4. Perubahan sosial tidak selalu bersifat gradual tetapi revolusioner.
Kemudian pendekatan yang kedua adalah pendekatan konflik. Dimana pendekatan ini berpangkal dari :
1. Setiap masyarakat berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir.
2. Setiap masyarakat mengandung konflik di dalam dirinya.
3. Setiap unsur dalam masyarakat memberikan sumbangan pada disintegrasi dan perubahan sosial.
4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasa.
Perubahan sosial oleh penganut pendekatan konflik tidak saja dipandang sebagai gejala yang melekat di dalam kehidupan tiap masyarakat tetapi justru bersumber dari tiap individu yang diawali dari pembagian otoritas.
Dalam setiap masyarakat selalu terdapat konflik antara kepentingan dari mereka yang memiliki kekuasaan otoritatif berupa kepentingan untuk memelihara status quo dari pola hubungan kekuasaan yang ada, dengan kepentingan mereka untuk mengubah status quo dari pola hubungan tersebut.
Adanya kelompok kepentingan yang merupakan sumber dari mana para anggota kelompok kepentingan terbentuk juga bisa menimbulkan sebuah konflik. Tetapi sebelumnya ada tiga syarat yang bersifat kondusional yang memungkinkan suatu kelompok semu dapat terorganisir ke dalam bentuk kelompok kepentingan :
1. Kondisi teknis dari suatu organisasi
Munculnya sejumlah orang yang mampu merumuskan dan mengorganisir latent interest menjadi manifest interest berupa kebutuhan yang ingin dicapai.
2. Kondisi politis dari suatu organisasi
Ada tidaknya kebebasan politik untuk berorganisasi yang diberikan oleh masyarakat.
3. Kondisi sosial bagi suatu organisasi.
Adanya sistem komunikasi yang memungkinkan para anggota dari kelompok semu berkomunikasi satu sama lain dengan mudah.
Sementara konflik timbul sebagai akibat dari adanya kenyataan bahwa di dalam setiap masyarakat selalu terdapat distribusi otoritas yang terbatas adanya. Konsekuensi yang timbul ialah bertambahnya otoritas pada suatu pihak, maka dengan begitu akan berkurang otoritas pada pihak lain.
Maka dari hal ini penganut pendekatan konflik menganggap bahwa konfik mer upakan gejala kemasyarakatan yang senantiasa melekat dalam kehidupan setiap masyarakat.Oleh karena itu orang hanya dapat melakukan pengendalian konflik .
Bentuk-bentuk pengendalian konflik :
1. Konsiliasi
Mempertemukan kedua belah pihak yang berkonflik. Pihak ketiga hanya memfasilitasi perundingan.
2. Mediasi
Mempertemukan kedua belah pihak dimana pihak ketiga hanya bersifat menasehati atau memberi masukan perihal konflik tersebut.
3. Arbitation
Mempertemukan kedua belah pihak dimana pihak ketiga sebgai wasit yang keputusannya bersifat mutlak harus dipatuhi.

Struktur majemuk masyarkat indonesia

Struktur masyarakat indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horisontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasar perbedaan-perbedaan suku, agama,daerah,adat. Secara vertikal struktur masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan suku bangsa, agama, adat dan daerah merupakan ciri dari masyarakat indonesia yang disebut sebagai masyarakat majemuk. Menurut Furnival Masyarakat indonesia pada masa hindia-belanda merupakan suatu masyarakat majemuk yakni, suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik.
Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang berisfat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will). Masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri dari elemen-elemen yang terpisah satu sama lain oleh karena perbedaan ras, masing-masing lebih merupakan kumpulan individu-individu daripada sebagai suatu keseluruhan yang bersifat organis, dan sebagai individu kehidupan sosial mereka tidaklah utuh.
Di dalam kehidupan ekonomi, tidak ada kehendak bersama dalam menemukan pernyataan dalam permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat (common social demand). Kebutuhan-kebutuhan keagamaan,politik, dan keindahan merupakan semua kebutuhan kultural yang memiliki aspek ekonomi karena pada akhirnya menyatakan diri secara terorganisir hanya sebagai kebutuhan ekonomi yakni permintaan atau demand sebagai keseluruhan. Akan tetapi di dalam suatu masyarakat majemuk seperti halnya dengan masyarakat indonesia pada masa hindia-belanda permintaan masyarakat tersebut tidaklah terorganisir, melinkan bersifat seksional (sectional) dan tidak dihayati bersama elemen masyarakat. Golongan Eropa, Tionghoa, dan golongan Pribumi masing-masing memiliki pola permintaan sendiri-sendiri.
Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat mejadi sumber yang membedakan karakter daripada ekonomi majemuk (plural economy) dari suatu masyarakat majemuk dengan ekonomi tunggal (unitary economy) dari suatu masyarakat yang bersifat homogeneous.
Keadaan masyarakat Indonesia pada masa kini sudah pasti telah jauh berbeda dari keadaan tersebut dan oleh karena itu pengertian masyarakat majemuk sebagaimana digambarkan oleh furnival harus tidak dapat begitu saja diperlakukan untuk melihat masyarakat Indonesia pada masa sekarang.
Furnivall adalah suatu masyarakat dimana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya sehingga para angota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan yang kurang memiliki homogenitas atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri dimana masing-masing sub sistem terikat ke dalam ikatan yang bersifat primordial (Clifford Geertz).
Piere L,van den Berge menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat majemuk :
1. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer
3. Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.
4. Secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
5. Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coection) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
6. Adanya dominasi pilitik oleh semua kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.
Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit kekerabatan yang bersifat segmenter, akan tetapi juga tidak dapat disamakandengan masyarakat yang terdiferensiasi atau spesialisasi yang tinggi. Maka masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang bersifat majemuk.
Faktor yang menyebabkan plualitas masyarakat indonesia :
1. Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia dengan berbagai pulau.
2. Indonesia terletak diantara samudera hindia dan samudera pasifik.
3. Perbedaan iklim dan struktur tanah di kepulauan Nusantara.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, dan regional merupakan dimensi-dimensi horisontal dari struktur masyarakat Indinesia. Sementara itu dimensi vertikal struktur masyarakat Indonesia dari waktu ke waktu dapat kita saksikan dalam bentuk semakin tumbuhnya polarisasi sosial berdasarkan kekuatan politik dan kekayaan.

Struktur kepartaian sebagai perwujudan struktur sosial masyarakat Indonesia

Perbedaan-perbedaan suku bangsa,agama, regional dan pelapisan sosial secara analitis memang dapat dibicarakan sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam kenyataan semuanya jalin menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi dasar bagi terjadinya pengelompokan masyarakat Indonesia. Jalinan tesebut telah menghasilkan terjadinya berbagai “kelompok semu, yang di dalam konteks pengertian populer dapat kita sebut sebagai “golongan” yang akan menjadi sumber dari mana anggota-anggota “kelompok kepentingan” terutama direkrut.
Timbulnya kematangan kondisi teknis,polotik, dan sosial abad-20 telah berhasil mengubah kelompok-kelompok semu menjadi kelompok kepentingan. Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah partai politik.
Di Indonesia pertama kalinya pada hasil pemilihan umum tahun 1955 partai masyumi merupakan partai paling besar sesudah PNI dan Partai Nahdatul Ulama yang merupakan partai paling besar nomor tiga sesudah masyumi. Pertumbuhan kedua partai politik tersebut melampaui serangkaian proses kristalisasi yang cukup panjang .
Sebuah partai lain yang pernah menempati posisi sangat penting dalam kehidupan politik Indonesia pada masa-masa silam adalah PNI yang menurut hasil pemilu merupakan partai [aling besar. Sejak awal kelahirannya pada tahun 1972 PNI banyak memperoleh dukungan dari golongan elit birokrasi yang berasal dari golongan elit tradisional jawa yang berpendidikan serta perumusan Marhaenisme sebagai ideologi partai membuat PNI semakin kuat.
Selanjutnya partai terbesar ke empat adalah PKI. PKI memperoleh dukungan sangat kuat terutama dari golongan islam non santri di daerah jawa tengah dan jawa timur. PKI memiliki basis massanya terutama di dalam lapisan bawah masyarakat desa. PKI memiliki lebih banyak pemimpin-pemimpinnya yang berasal dari lapisan bawah masyarakat.
PSI merupakan partai yang lebih kecil dilihat dari massa yang diperoleh tetapi memiliki pengaruh cukup kuat di kancah politik. PSI memperoleh dukungan dari elite berpendidikan akan tetapi kurang memperoleh dukungan dari elite pedesaan serta PSI banyak mendapat dukungan dari kalangan di daerah jawa barat, Nusa Tenggara Timur, serta daerah di luar Pulau Jawa.
Melihat struktur yang demikian orang bisa menjadi lebih mengerti betapa konflik-konlik antara partai politik di Indonesia pada masa-masa yang silam merupakan konflik antara kelompok sosial kultural berdasar perbededaan suku bangsa, agama, daerah, dan stratifikasi sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku politik dari berbagai parpol di Indonesia jauh lebih kompleks daripada sekedar sumber di dalam perbedaan suku bangsa,agama, daerag,dan stratifikasi sosial. Kompleksitas itulah yang memberi kemungkinan timbulnya berbagai cara dalam kepartaian dan perilaku politik. Perwujudannya dinyatakan dalam konflik ideologis di antara lima buah aliran pemikiran : Nasionalisme Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam Sosialisme Demokrat, dan Komunisme.

Struktur Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi Sosial

Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional telah menimbulkan persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi sosial sebagaimana diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada Integrasi nasional yang bersifat vertikal.
Suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal: pertama masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagaian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, masyarakat terintegrasi karena menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross cutting affiliations).
Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari terjadinya integrasi sosial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk karena tanpa keduanya maka tidak akan terbentuk masyarakat walaupun landasan tersebut hanya berlaku dalam derajad yang bersifat sementara.
Segmentasi kedalam bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang terikat kedalam ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik. Dalam hal ini ada dua tingkatan konflik :
1. Konflik ideologis
Konflik antar sistem nilai yang dianut serta menjadi ideologi berbagai kesatuan sosial.
2. Konflik politius
Konflik dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber ekonomi.
F. Dalam suatu konflik maka sadar atau tidak setiap pihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri di antara sesama anggotanya, membentuk organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama.
Menurut Liddle konflik dapat terselesaikan pabila muncul integrasi nasional, dan integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang apabila:
1. Sebagian besar anggota masyarakat bersepakat tentang batas teritorial dari suatu negara.
2. Apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut bersepakat mengenai struktur pemerintahan dan aturan politik yang berlaku bagi masyarakat tersebut.
Dengan kata lain Integrasi nasional akan terjain apabila adanya konsensus tentang batas-batas masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku bagi masyarakat.
Ada indikator yang menggambarkan intensitas konflik politik yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia dari tahun 1948-1967:
1. Demonstrasi
Sejumlah orangisasi yang tidak menggunakan kekerasan untuk mengorganisir dirimelakukan protes terhadap rezim atau kebujakan yang sedang direncanakan.
2. Kerusuhan
Demonstrasi dengan cara melakukan kerusuhan menggunakan kekuatan fisik dengan pengrusakan barang-barang,pemukulan dalam mengungkapkan protes terhadap pihak yang menurut mereka tidak benar.
3. Serangan bersenjata (armed attack)
Tindakan kekerasan yang dilakukan untuk kepentingan suatu kelompok tertentu dengan maksud melemahkan atau bahkan menghancurkan kekuasaan dari kelompok kain. (pertumpahan darah, pergulatan, pengrusakan barang-barang)
4. Jumlah kematian akibat dari kekerasan politik
Salah satu perubahan politik yang paling penting yang dapat dipakai sebagai indikator konflik politik adalah terjadinya perubahan di dalam lembaga-lembaga eksekutif. Indikator ini dapat kita bedakan ke dalam dua macam perubahan :
1. Reguler excekutive transfer
Suatu pemindah kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa yang lain melalui cara-cara yang bersifat legal-konvensional atau melalui prosedur yang sudah menjadi kebiasaan, tanpa disertai dengan tekanan kekerasan fisik yang nyata dan langsung.
2. Ireguler power transfer
Pemindah kekuasaan eksekutif pada tingkat nasional dari suatu pemimpin atau kelompok penguasa kepada pemimpin atau kelompok penguasa lain melalui cara-cara yang tidak legal konvensional atau prosedur-prosedur yang tiada biasa.
Jadi dari sini dapat disimpulkan untuk tidak memberlakukan kedua macam pendekatan yang telah berulang kali disebutkan yakni, fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik secara sepihak. Sifat majemuk masyarakat Indonesia memang telah menjadi sebab dan kondisi bagi timbulnya konflik-konflik sosial yang sedikit banyak bersifat vicious circle dan yang oleh karenanya mendorong tumbuhnya proses integrasi sosial di atas landasan coercion. Akan tetapi di lain pihak proses integrasi tersebut juga terjadi di atas landasan konsensus bangsa Indonesia mengenai nilai-nilai fundamental tertentu. Kelahiran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka sangat jelas menunjukan betapa nasionalisme pancasila telah menjadi daya spiritual yang sejak awal mempersatukan bangsa Indonesia.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan pelapisan sosial saling silang menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat silang menyilang pula. Cross cutting afiliation yang demikian telah menyebabkan konflik antar golongan di Indonesia bagaimanapun tidak menjadi terlalu tajam . bersama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme pancasila yang senantiasa beranggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik-konflik yang bersifat coercive,maka struktur masyarakat Indonesia yang silang menyilang itu telah menjadi landasan mengapa masyarakat Indonesia tetap dapat lestari dari masa ke masa, walaupun ia harus mengarungi samudera penuh dengan berbagai gelombang dan badai pertentangan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar