A.
Latar Belakang Permasalahan
Hak pilih warga negara dalam Pemilihan Umum adalah
salah satu substansi terpenting dalam perkembangan demokrasi, sebagai bukti adanya eksistensi dan kedaulatan
yang dimiliki rakyat dalam pemerintahan. Pemilihan Umum sebagai lembaga
sekaligus praktik politik menjadi sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat
sekaligus sebagai sarana artikulasi kepentingan warga negara untuk menentukan
wakil-wakil mereka.
Pemilihan
Umum menjadi implementasi atas berdirinya tonggak pemerintahan yang
elemen-elemen di dalamnya dibangun oleh rakyat, sebagaimana yang disampaikan
oleh Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln Lincoln menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Konsep
ini menyimpulkan bahwa yang dibangun dalam sistem demokrasi
menghasilkan suatu pandangan di mana tidak ada jalan yang paling tepat untuk
menunjukkan eksistensi dan kedaulatan rakyat kecuali melalui ajang Pemilihan
Umum.
General
Election atau Pemilihan
Umum di Indonesia adalah media rakyat untuk memberikan hak suaranya atas
calon-calon anggota legislatif dan pimpinan puncak Pemerintahan (eksekutif)
yakni Presiden dan Wakil Presiden melalui prosedur Pemilihan Umum yang
berdasarkan pada asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia (Luber) serta Jujur dan
Adil (Jurdil) Konsep ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat untuk
memilih langsung calon anggota legislatif dari partai-partai politik yang
mengajukannya, memilih langsung calon-calon independen untuk menjadi anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta memilih langsung calon-calon Presiden dan
Wakil Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan untuk periode lima
tahun.
Pemilihan
Umum di sisi lain juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat
yang memenuhi syarat untuk dipilih menjadi calon anggota legislatif baik di
DPR, DPD, dan DPRD, bahkan memberikan kesempatan bagi setiap warga negara yang
memenuhi syarat untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. Artinya prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sepenuhnya dipegang teguh
oleh bangsa Indonesia dalam tatanan demokrasi konstitusional yang menjunjung
tinggi kemerdekaan dan kebebasan atas hak-hak pribadi individu selaku manusia
Indonesia.
Kemerdekaan
dan kebebasan atas hak-hak pribadi (hak-hak sipil dan politik) adalah bagian dari upaya bangsa dan negara
untuk memberikan jaminan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia,
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Negara selain itu juga
bertanggung jawab untuk selalu memberikan pemahaman kepada rakyat bahwa
kebebasan dan demokrasi yang hidup dan berkembang di Indonesia tetap memiliki
batasan sebagaimana yang diatur di dalam Pancasila dan UUD 1945 sehingga
demokrasi konstitusional yang berkembang akan selalu dilandasi dengan prinsip
kebebasan dan kemerdekaan yang bertanggung jawab.
Demokrasi
konstitusional yang tumbuh dan berkembang dengan pesat di Indonesia mengharuskan adanya
penyelarasan antara teori-teori dan pengetahuan yang dimiliki oleh segenap
komponen bangsa dengan bentuk-bentuk dan implementasi dari prinsip-prinsip
demokrasi yang ada termasuk dalam persoalan Pemilihan Umum. Penerapan prinsip
ini diharapkan dapat menciptakan tatanan kehidupan ketatanegaraan yang berjalan
dengan penuh keseimbangan menuju ke arah tujuan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.
Pengkajian
yang mendalam berkaitan dengan praktik pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia
sangat perlu dilakukan pada saat ini. Pemilihan Umum sebagai sarana warga
negara untuk menggunakan hak pilihnya hingga sekarang masih menimbulkan
problematika berkaitan dengan boleh atau tidaknya beberapa elemen masyarakat
yang tergabung dalam beberapa korps profesi seperti Tentara Nasional Indonesia
(TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), dan Pegawai Negeri
Sipil (PNS) di seluruh jajaran untuk
menggunakan hak memilih dan hak dipilihnya dalam Pemilihan Umum. Akan tetapi isu yang paling hangat berkaitan dengan penggunaan hak pilih dalam
Pemilihan Umum di Indonesia adalah yang melibatkan anggota TNI sebagai alat pertahanan negara sekaligus sebagai insan politik.
Permasalahan
yang dikaji bukan hanya berkaitan dengan boleh atau tidaknya anggota TNI untuk
memilih, namun dalam aspek yang lebih luas kita harus menyadari bahwa sebagai
warga negara para anggota TNI juga
merupakan bagian dari rakyat yang memang berhak untuk menggunakan hak pilihnya
sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. Meskipun demikian problematika ini tidak mungkin terjadi tanpa ada sebabnya.
Untuk itu kita harus melihat terlebih dahulu dari kacamata historis berkaitan
dengan keterlibatan anggota TNI pada ranah politik di masa orde baru.
Problematika
politik muncul pada saat anggota TNI yang dahulu bernaung bersama POLRI pada
institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) diberikan kewenangan
penuh untuk terjun pada dua wahana yang memiliki dimensi yang berbeda. ABRI
diberikan fungsi ganda (bifunction) untuk memperluas konsep dan cara
pandang lembaga pertahanan negara ini dalam dunia Pemerintahan. Konsep ini
dikenal dengan sebutan Dwifungi ABRI.
Gagasan
yang melatarbelakangi konsep dwifungsi ABRI sebagai persepsi diri dan norma
perilaku ABRI menurut Bilveer Singh ada empat macam. Pertama, fakta bahwa ABRI menciptakan dirinya sendiri
dan memandang dirinya sebagai pihak yang memiliki hak yang sama besarnya dengan
kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya. Kedua, fakta bahwa para pemuda dan
anggota angkatan bersenjata memandang diri sendiri sebagai pejuang kemerdekaan
yang telah ikut memperjuangkan kemerdekaan bagi negara. Ketiga, fakta bahwa
para politikus sipil cenderung terpecah-pecah dan hanya mementingkan diri atau
partainya sendiri, sementara ABRI merupakan satu-satunya kekuatan yang memiliki
sifat nasional. Keempat, kenyataan bahwa Jenderal Sudirman melalui sikap dan
tindakannya mampu menarik garis dalam hubungan sipil dan militer, bahkan sampai
tidak mau ditundukkan.
Peran
militer sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik tampak
pada pemikiran Jenderal Abdul Haris Nasution. Jenderal A. H. Nasution yang
menyatakan bahwa ABRI perlu ikut dalam pembinaan negara karena jika ABRI
dibendung dalam proses pembinaan negara maka ABRI laksana gunung berapi yang
suatu saat akan meledak. Posisi ABRI bukanlah sekedar alat sipil seperti di negara-negara barat, dan
bukan pula sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan negara. ABRI adalah
kekuatan sosial dan kekuasaan rakyat yang bahu membahu dengan kekuasaan rakyat
lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dwifungsi ABRI adalah peran ganda ABRI
sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara di satu pihak dan sebagai
kekuatan sosial politik di pihak lain. Pelaksanaan peran sosial politik ABRI
dilaksanakan melalui kebijakan mendayagunakan ABRI di luar tugas-tugas
kemiliteran (bidang tugas sipil-politik).
Konsep
dwifungsi ABRI kemudian dilembagakan dalam tatanan hukum kita. Pelembagaan itu
dimulai pada Ketetapan MPRS Nomor 24 / MPRS / 1966 yang menyebutkan sebagai berikut: “Mengingat dwifungsi ABRI
sebagai alat negara dan kekuatan sosial kompak bersatu dan kesatuan untuk dapat
menjadi pengawal Pancasila dan UUD 1945 yang kuat dan sentosa.” Pengakuan
terhadap peran sosial politik ABRI ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor IV /
MPR / 1978 yang menyebutkan bahwa :“Angkatan Bersenajata Republik Indonesia
sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial yang tumbuh dari
rakyat bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara.”
Peran dan
fungsi ABRI dalam kehidupan ketatanegaraan diatur pada Tatanan
Perundang-Undangan di mana dwifungsi ABRI mendapatkan legitimasi dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1982 tentang Ketentuaan – ketentuan Pokok
Pertahanan Kemanan Negara dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1988 tentang Prajurit
ABRI. Pada Pasal 26 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1982 menyebutkan bahwa : “Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai
kekuatan pertahanan keamanan negara dan sebagai kekuatan sosial.”
Hakikat dan
fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial dijelaskan pada Pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1982 yang menyebutkan bahwa :
1.
ABRI
sebagai kekuatan sosial bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama
kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan
menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan
kesejahteraan seluruh masyarakat.
2.
Dalam
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, angkatan
bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkokoh
ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai
masalah kenegaraan dan Pemerintahan, mengembangkan Demokrasi Pancasila dan
kehidupan konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala
usaha dan kegiatan pembangunan nasional.
Ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan yang diuraikan di atas menyebutkan bahwa fungsi
ABRI sebagai kekuatan pertahanan negara sekaligus sebagai satu arus kekuatan
sosial-politik. Ketentuan lain yang dengan tegas menyebutkan peran sosial
politik ABRI tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1988 yang
menyebutkan bahwa : “Prajurit ABRI mengemban dwifungsi ABRI, yaitu sebagai
kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik.”
Legitimasi
atas dwifungsi ABRI pada tatanan Peraturan Perundang-Undangan memberikan ruang
bagi ABRI dalam skala struktural maupun
personal untuk berkecimpung secara langsung dan terlibat pada konstelasi
politik nasional termasuk untuk memberikan keputusan-keputusan politik atas
kebijakan di lingkup Pemerintahan. Hal ini dikarenakan ABRI memiliki kursi di
DPR / MPR dalam kurun waktu tertentu.
Dominasi
politik ABRI yang bertumpu pada konsep dwifungsi memasuki babak baru pada saat runtuhnya rezim Pemerintahan orde
baru. Dwifungsi ABRI sebagai satu konsep politik yang menempatkan ABRI sebagai
kekuatan hankam maupun sebagai kekuatan sosial politik dalam suprastruktur
maupun infrastruktur mulai dianggap sebagai bentuk legitimasi ABRI untuk
mempertahankan status quo dan menunjukkan sikap anti perubahan yang
sangat bertolak belakang dengan tuntutan reformasi dan semangat kedaulatan
rakyat yang menghendaki demokrasi dan kebebasan, karena meskipun dwifungsi ABRI dalam perkembangannya
dianggap merupakan konsensus nasional atau bahkan dianggap sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari sistem Demokrasi Pancasila, namun dalam aktualisasinya
justru menjadi satu kekuatan yang dominan dalam pemerintahan. Oleh karena itu
pada titik kulminasi reformasi menghendaki dihapuskannya dwifungsi ABRI dalam
kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia.
Pada
tanggal 10-13 November 1998, MPR melaksanakan Sidang Istimewa sebagai upaya
untuk merespons dan mengakomodasi aspirasi seluruh rakyat Indonesia dalam
pelaksanaan agenda reformasi nasional secara konstitusional. Salah satu hasil
ketetapan yang dihasilkan MPR adalah Ketetapan MPR No. XIV / MPR / 1998 tentang
Pemilihan Umum dalam Pasal 1 ayat 7 butir (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa :
1. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas anggota partai politik hasil
Pemilihan Umum dan anggota ABRI yang diangkat.
2. Pengangkatan anggota ABRI dalam Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah dilakukan
pengurangan jumlahnya secara bertahap dan selanjutnya diatur dengan
Undang-undang.
ABRI
sebagai salah satu komponen bangsa sudah seharusnya mengikuti rule of game yang
ada di Negara Kesatuan republik Indonesia di mana ABRI berkewajiban untuk
mematuhi dan melaksanakan apa yang dikehendaki oleh rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi dalam negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD
1945. ABRI sebagai bagian dari rakyat sudah semestinya memerhatikan aspirasi
masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan penghapusan dwifungsi ABRI yang
dalam aktualisasinya dinilai terlalu besar melibatkan ABRI di dalam tatanan
politik dan Pemerintahan.
Di tahun
2000 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor VI / MPR /2000 dan Ketetapan MPR
Nomor VII / MPR / 2000 yang memisahkan antara TNI (Angkatan Darat, Angkatan
Laut, dan Angkatan Udara) dan POLRI yang dilanjutkan dengan keluarnya Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
Tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang
Tentara Nasional Indonesia. TNI selanjutnya diembankan tugas untuk menjaga
pertahanan negara terhadap ancaman dari luar wilayah kedaulatan nasional, dan
POLRI ditugaskan untuk menjaga keamanan negara terhadap ancaman dari dalam
negeri. Kedua fungsi tersebut ditujukan untuk menciptakan suatu sistem
pertahanan dan keamanan yang tangguh guna menciptakan stabilitas nasional yang
kokoh.
Pemisahan
antara TNI dan POLRI memiliki arti penting dalam perkembangan sistem pertahanan
dan keamanan nasional, sebab diketahui bahwa sesungguhnya integrasi antara TNI dan POLRI ke dalam
struktur ABRI adalah hanya atas kebijakan Presiden Soekarno yang lebih
didasarkan pada pertimbangan politis untuk lebih memudahkan pengendalian aparat
di tahun 1963 dan bukan didasarkan pada aspek kepentingan nasional. Hal ini
menjadi nyata dengan diangkatnya pimpinan tertinggi setiap angkatan menjadi Menteri,
sehingga Menteri / Panglima Angkatan Darat sejajar dengan menteri / Panglima
Angkatan Kepolisian, semuanya berkedudukan sebagai Pembantu Presiden. Kebijakan
integrasi satu atap selanjutnya juga diteruskan oleh Pemerintahan orde baru
dengan pertimbangan politis yang sama, meskipun otonomi serta kekuasaan yang
luas dari pimpinan kematraan baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan
Udara serta POLRI diambil alih Panglima ABRI yang sampai 1983 merangkap jabatan
sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan.[16]
Keterlibatan
ABRI semakin jauh berkurang dari kancah perpolitikan sejak dihapuskannya
Dwifungsi ABRI. ABRI benar-benar menjadi lembaga yang mandiri sebagai kekuatan
utama dalam sistem pertahanan dan keamanan nasional sebagaimana yang diatur
pada ketentuan Pasal 30 UUD NRI 1945 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara.
Pada
perkembangannya TNI sebagai kekuatan utama pertahanan negara yang profesional,
menjalani tanggung jawabnya tanpa sedikitpun menyentuh aspek-aspek sosial
politik sebagaimana yang terjadi pada rezim sebelumnya, namun kondisi ini juga
menjadi suatu realita yang mencemaskan bagi pelaksanaan tatanan demokrasi konstitusional yang sehat
sebagai bentuk perwujudan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia
sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi (UUD NRI 1945) khususnya Pasal 28
dan Pasal 28 E UUD NRI 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Ketentuan
Pasal 28 UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa : “Kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan Undang-Undang.” Selanjutnya pada ketentuan Pasal 28 E Ayat
(2) yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.” Pasal
28 E Ayat (3) menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Ketentuan
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyebutkan bahwa :
1.
Setiap
orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
2.
Setiap
orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai
hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun
elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban,
kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Ketentuan UUD
NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 di atas mengarahkan bahwa negara
harus memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya
berkaitan dengan hak politik warga negara dan secara lebih khusus lagi
berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilihan Umum di
Indonesia. Makna dari ketentuan tersebut menegaskan bahwa segala bentuk produk hukum
perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilihan Umum khususnya mengatur
tentang hak pilih warga negara, seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya
bagi setiap warga negara untuk bisa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan
Umum, sebab pembatasan hak pilih warga negara merupakan salah satu bentuk
pelanggaran Hak Asasi Manusia.[17]
Salah satu
kovenan internasional yang secara khusus mengatur tentang hak-hak sipil dan
politik warga negara adalah International Covenant On Civil And Political
Righst (ICCPR 1966). Berkaitan dengan hak pilih warga negara ICCPR
menegaskan dalam Pasal 25 yang menyebutkan bahwa: “Setiap warga negara harus
mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk tanpa pembedaan apapun seperti
yang disebutkan dalam Pasal 2 ICCPR dan tanpa pembatasan yang tidak wajar baik
untuk berpartisipasi dalam menjalankan segala urusan umum baik secara langsung
maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas, selanjutnya untuk memilih
dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas dan dengan hak pilih yang
sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran suara tertulis dan
rahasia yang menjamin para pemilih untuk menyatakan kehendak mereka dengan
bebas, dan untuk mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri pada umumnya
atas dasar persamaan. Ketentuan di atas ditujukan untuk menegaskan bahwa hak
pilih merupakan hak asasi. Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan
penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga negara.”
Perkembangan
hak pilih warga negara khususnya hak pilih anggota TNI di Indonesia berjalan
tidak sesuai dengan ketentuan ICCPR 1966. Sejak pengaturan Undang-Undang Pemilihan
Umum 1971 yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 hingga pengaturan
Undang-Undang Pemilihan Umum Tahun 2004 yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tidak ada satupun dari Undang-Undang tersebut yang mengakomodir hak pilih
anggota TNI dalam Pemilihan Umum, yang artinya anggota TNI tidak menggunakan
hak pilihnya dalam Pemilihan Umum baik untuk memilih maupun untuk dipilih.
Misalnya pada pengaturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 khususnya dalam
Pasal 145 dan Pasal 64, di mana pada ketentuan Pasal 145 yang menyebutkan bahwa
: “Dalam Pemilihan Umum Tahun 2004 anggota TNI dan anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya.” Selanjutnya Pasal 64
menyebutkan bahwa: “Calon anggota DPD
dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, atau anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan
Pasal 63 huruf a, harus mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, anggota
TNI, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.”
Pasal 145 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan anggota TNI dalam kancah Pemilihan Umum
di Indonesia baik dalam kapasitasnya sebagai seorang pemilih maupun sebagai
orang yang dipilih mengharuskan dirinya untuk melepaskan status sebagai anggota
TNI. Ketentuan Pasal 145 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 mengarah
pada kesimpulan bahwa yang berhak untuk menggunakan hak pilih dalam Pemilihan
Umum di Indonesia adalah warga sipil biasa yang memenuhi persyaratan sebagai
calon pemilih dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana ketentuan yang
diatur pada Bab III tentang Hak Memilih dalam Pasal 13 dan Pasal 14, dan Bab
VII tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten /
Kota dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003.
Skripsi ini bertujuan untuk membahas secara
global aspek-aspek yang relevan dalam menganalisis problematika hak pilih
anggota TNI yang muncul dalam proses Pemilihan Umum di Indonesia, sesuai dengan
perkembangan aturan-aturan hukum positif yang berlaku, untuk dibahas dan dikaji
secara mendalam guna menghasilkan titik terang dan jalan yang terbaik bagi
seluruh komponen bangsa khususnya anggota TNI agar bisa mengaktualisasikan hak
asasinya dalam prinsip-prinsip kedaulatan rakyat pada tatanan Demokrasi Pancasila melalui ajang Pemilihan
Umum.Syamsuddin Haris dkk., Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hal. 49.
Saripudin Bebyl, Tata Negara, (Bandung: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 32.
Ibid., hal. 136.
Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjelaskan pengertian
asas-asas Pemilihan Umum, yaitu :
a. Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan
suaranya secara langsung sesuai dengan
kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b. Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi
persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti Pemilihan Umum.
Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku
menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama,
ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.
c.
Bebas
Setiap warga negara yang berhak memilih bebas
menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam
melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat
memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
d.
Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa
pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun.
Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh
orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
e.
Jujur
Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, setiap
penyelenggara Pemilihan Umum, aparat Pemerintah, peserta Pemilihan Umum,
pengawas Pemilihan Umum, pemantau Pemilihan Umum, pemilih, serta semua pihak
yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
f.
Adil
Dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum, setiap pemilih dan peserta Pemilihan Umum
mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.
Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum
dalam Era Reformasi, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2004), hal. 117.
Ciri khas demokrasi konstitusional
adalah gagasan bahwa Pemerintah yang demokratis adalah Pemerintah yang terbatas
kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga
negaranya. Pembatasan kekuasaan Pemerintah tercantum dalam konstitusi; maka
dari itu sering disebut constitutional government. Miriam
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, Cetakan kedua puluh dua, 2002), hal. 52.
TNI, POLRI, dan PNS pada rezim orde baru disebut golongan fungsional
Syamsuddin Haris dkk., Op. cit.,
hal. 59.
“TNI” termasuk dalam kategori militer
formal / militer regular yaitu tentara yang memiliki militansi yang tinggi
menguasai peralatan persenjataan dan penggunaannya secara sah dan memaksakannya
kepada semua pihak yang mengganggu / mengancam keamanan Negara baik yang
bersifat eksternal maupun yang bersifat internal yang pengendaliannya secara
terpusat oleh kehendak Negara.
M.D. La Ode, Peran Militer dalam
Ketahanan Nasional Studi Kasus Bidang Hankam di Indonesia Tahun 1967-2000,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), hal. 17.
Bartain Simatupang, “Urgensi Hak
Pilih TNI”, Pikiran Rakyat Bandung, 18 Mei 2007,
www.pikiran-rakyat.co.id.
Bilveer Singh, Dwifungsi ABRI,
(Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 44.
Ibid., hal. 45.
Soebijono dkk., Dwifungsi ABRI
Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, (Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 1995), hal. 85.
Ibid., hal. 86.
Ibid., Hal. 90.
Ibid.
Seputar Indonesia, “Bentrok
TNI-POLRI”, 7 Februari 2008, hal.6.
Ibid.Baca
: Pasal 25 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 (ICCPR
1966)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar