Kamis, 22 Maret 2012

Implementasi Hak Pilih Anggota Tentara Nasional Indonesia Dalam Pemilihan Umum Di Indonesia


A.     Latar Belakang Permasalahan
Hak pilih warga negara dalam Pemilihan Umum adalah salah satu substansi terpenting dalam perkembangan demokrasi, sebagai bukti adanya eksistensi dan kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam pemerintahan. Pemilihan Umum sebagai lembaga sekaligus praktik politik menjadi sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus sebagai sarana artikulasi kepentingan warga negara untuk menentukan wakil-wakil mereka.
Pemilihan Umum menjadi implementasi atas berdirinya tonggak pemerintahan yang elemen-elemen di dalamnya dibangun oleh rakyat, sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln Lincoln menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.  Konsep ini menyimpulkan bahwa yang dibangun dalam sistem demokrasi menghasilkan suatu pandangan di mana tidak ada jalan yang paling tepat untuk menunjukkan eksistensi dan kedaulatan rakyat kecuali melalui ajang Pemilihan Umum. 
General Election atau Pemilihan Umum di Indonesia adalah media rakyat untuk memberikan hak suaranya atas calon-calon anggota legislatif dan pimpinan puncak Pemerintahan (eksekutif) yakni Presiden dan Wakil Presiden melalui prosedur Pemilihan Umum yang berdasarkan pada asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia (Luber) serta Jujur dan Adil (Jurdil) Konsep ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat untuk memilih langsung calon anggota legislatif dari partai-partai politik yang mengajukannya, memilih langsung calon-calon independen untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta memilih langsung calon-calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan untuk periode lima tahun.
Pemilihan Umum di sisi lain juga memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada rakyat yang memenuhi syarat untuk dipilih menjadi calon anggota legislatif baik di DPR, DPD, dan DPRD, bahkan memberikan kesempatan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk dipilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Artinya prinsip-prinsip kedaulatan rakyat sepenuhnya dipegang teguh oleh bangsa Indonesia dalam tatanan demokrasi konstitusional yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan kebebasan atas hak-hak pribadi individu selaku manusia Indonesia.
Kemerdekaan dan kebebasan atas hak-hak pribadi (hak-hak sipil dan politik)  adalah bagian dari upaya bangsa dan negara untuk memberikan jaminan perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Negara selain itu juga bertanggung jawab untuk selalu memberikan pemahaman kepada rakyat bahwa kebebasan dan demokrasi yang hidup dan berkembang di Indonesia tetap memiliki batasan sebagaimana yang diatur di dalam Pancasila dan UUD 1945 sehingga demokrasi konstitusional yang berkembang akan selalu dilandasi dengan prinsip kebebasan dan kemerdekaan yang bertanggung jawab.
Demokrasi konstitusional yang tumbuh dan berkembang dengan pesat di Indonesia mengharuskan adanya penyelarasan antara teori-teori dan pengetahuan yang dimiliki oleh segenap komponen bangsa dengan bentuk-bentuk dan implementasi dari prinsip-prinsip demokrasi yang ada termasuk dalam persoalan Pemilihan Umum. Penerapan prinsip ini diharapkan dapat menciptakan tatanan kehidupan ketatanegaraan yang berjalan dengan penuh keseimbangan menuju ke arah tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 
Pengkajian yang mendalam berkaitan dengan praktik pelaksanaan Pemilihan Umum di Indonesia sangat perlu dilakukan pada saat ini. Pemilihan Umum sebagai sarana warga negara untuk menggunakan hak pilihnya hingga sekarang masih menimbulkan problematika berkaitan dengan boleh atau tidaknya beberapa elemen masyarakat yang tergabung dalam beberapa korps profesi seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI), dan Pegawai Negeri Sipil  (PNS) di seluruh jajaran untuk menggunakan hak memilih dan hak dipilihnya dalam Pemilihan Umum. Akan tetapi isu yang paling hangat berkaitan dengan penggunaan hak pilih dalam Pemilihan Umum di Indonesia adalah yang melibatkan anggota TNI sebagai alat pertahanan negara sekaligus sebagai insan politik.
Permasalahan yang dikaji bukan hanya berkaitan dengan boleh atau tidaknya anggota TNI untuk memilih, namun dalam aspek yang lebih luas kita harus menyadari bahwa sebagai warga negara para anggota  TNI juga merupakan bagian dari rakyat yang memang berhak untuk menggunakan hak pilihnya sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. Meskipun demikian problematika ini tidak mungkin terjadi tanpa ada sebabnya. Untuk itu kita harus melihat terlebih dahulu dari kacamata historis berkaitan dengan keterlibatan anggota TNI pada ranah politik di masa orde baru.
Problematika politik muncul pada saat anggota TNI yang dahulu bernaung bersama POLRI pada institusi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) diberikan kewenangan penuh untuk terjun pada dua wahana yang memiliki dimensi yang berbeda. ABRI diberikan fungsi ganda (bifunction) untuk memperluas konsep dan cara pandang lembaga pertahanan negara ini dalam dunia Pemerintahan. Konsep ini dikenal dengan sebutan Dwifungi ABRI.
Gagasan yang melatarbelakangi konsep dwifungsi ABRI sebagai persepsi diri dan norma perilaku ABRI menurut Bilveer Singh ada empat macam. Pertama, fakta bahwa ABRI menciptakan dirinya sendiri dan memandang dirinya sebagai pihak yang memiliki hak yang sama besarnya dengan kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya. Kedua, fakta bahwa para pemuda dan anggota angkatan bersenjata memandang diri sendiri sebagai pejuang kemerdekaan yang telah ikut memperjuangkan kemerdekaan bagi negara. Ketiga, fakta bahwa para politikus sipil cenderung terpecah-pecah dan hanya mementingkan diri atau partainya sendiri, sementara ABRI merupakan satu-satunya kekuatan yang memiliki sifat nasional. Keempat, kenyataan bahwa Jenderal Sudirman melalui sikap dan tindakannya mampu menarik garis dalam hubungan sipil dan militer, bahkan sampai tidak mau ditundukkan.
Peran militer sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik tampak pada pemikiran Jenderal Abdul Haris Nasution. Jenderal A. H. Nasution yang menyatakan bahwa ABRI perlu ikut dalam pembinaan negara karena jika ABRI dibendung dalam proses pembinaan negara maka ABRI laksana gunung berapi yang suatu saat akan meledak. Posisi ABRI bukanlah sekedar alat sipil seperti di negara-negara barat, dan bukan pula sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan negara. ABRI adalah kekuatan sosial dan kekuasaan rakyat yang bahu membahu dengan kekuasaan rakyat lainnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Dwifungsi ABRI adalah peran ganda ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara di satu pihak dan sebagai kekuatan sosial politik di pihak lain. Pelaksanaan peran sosial politik ABRI dilaksanakan melalui kebijakan mendayagunakan ABRI di luar tugas-tugas kemiliteran (bidang tugas sipil-politik).
Konsep dwifungsi ABRI kemudian dilembagakan dalam tatanan hukum kita. Pelembagaan itu dimulai pada Ketetapan MPRS Nomor 24 / MPRS / 1966 yang menyebutkan  sebagai berikut: “Mengingat dwifungsi ABRI sebagai alat negara dan kekuatan sosial kompak bersatu dan kesatuan untuk dapat menjadi pengawal Pancasila dan UUD 1945 yang kuat dan sentosa.” Pengakuan terhadap peran sosial politik ABRI ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor IV / MPR / 1978 yang menyebutkan bahwa :“Angkatan Bersenajata Republik Indonesia sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial yang tumbuh dari rakyat bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara.”
Peran dan fungsi ABRI dalam kehidupan ketatanegaraan diatur pada Tatanan Perundang-Undangan di mana dwifungsi ABRI mendapatkan legitimasi dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1982 tentang Ketentuaan – ketentuan Pokok Pertahanan Kemanan Negara dan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1988 tentang Prajurit ABRI. Pada  Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 menyebutkan bahwa : “Angkatan Bersenjata mempunyai fungsi sebagai kekuatan pertahanan keamanan negara dan sebagai kekuatan sosial.”
Hakikat dan fungsi ABRI sebagai kekuatan sosial dijelaskan pada  Pasal 28 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 yang menyebutkan bahwa :
1.                  ABRI sebagai kekuatan sosial bertindak selaku dinamisator dan stabilisator yang bersama-sama kekuatan sosial lainnya memikul tugas dan tanggung jawab mengamankan dan menyukseskan perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan serta meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat.
2.                  Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, angkatan bersenjata diarahkan agar secara aktif mampu meningkatkan dan memperkokoh ketahanan nasional dengan ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai masalah kenegaraan dan Pemerintahan, mengembangkan Demokrasi Pancasila dan kehidupan konstitusional berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional.
Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang diuraikan di atas menyebutkan bahwa fungsi ABRI sebagai kekuatan pertahanan negara sekaligus sebagai satu arus kekuatan sosial-politik. Ketentuan lain yang dengan tegas menyebutkan peran sosial politik ABRI tercantum dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1988 yang menyebutkan bahwa : “Prajurit ABRI mengemban dwifungsi ABRI, yaitu sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial politik.”
Legitimasi atas dwifungsi ABRI pada tatanan Peraturan Perundang-Undangan memberikan ruang bagi ABRI dalam skala struktural maupun  personal untuk berkecimpung secara langsung dan terlibat pada konstelasi politik nasional termasuk untuk memberikan keputusan-keputusan politik atas kebijakan di lingkup Pemerintahan. Hal ini dikarenakan ABRI memiliki kursi di DPR / MPR dalam kurun waktu tertentu.
Dominasi politik ABRI yang bertumpu pada konsep dwifungsi memasuki babak baru  pada saat runtuhnya rezim Pemerintahan orde baru. Dwifungsi ABRI sebagai satu konsep politik yang menempatkan ABRI sebagai kekuatan hankam maupun sebagai kekuatan sosial politik dalam suprastruktur maupun infrastruktur mulai dianggap sebagai bentuk legitimasi ABRI untuk mempertahankan status quo dan menunjukkan sikap anti perubahan yang sangat bertolak belakang dengan tuntutan reformasi dan semangat kedaulatan rakyat yang menghendaki demokrasi dan kebebasan, karena  meskipun dwifungsi ABRI dalam perkembangannya dianggap merupakan konsensus nasional atau bahkan dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem Demokrasi Pancasila, namun dalam aktualisasinya justru menjadi satu kekuatan yang dominan dalam pemerintahan. Oleh karena itu pada titik kulminasi reformasi menghendaki dihapuskannya dwifungsi ABRI dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia.
Pada tanggal 10-13 November 1998, MPR melaksanakan Sidang Istimewa sebagai upaya untuk merespons dan mengakomodasi aspirasi seluruh rakyat Indonesia dalam pelaksanaan agenda reformasi nasional secara konstitusional. Salah satu hasil ketetapan yang dihasilkan MPR adalah Ketetapan MPR No. XIV / MPR / 1998 tentang Pemilihan Umum dalam Pasal 1 ayat 7 butir (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa :
1.      Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas anggota partai politik hasil Pemilihan Umum dan anggota ABRI yang diangkat.
2.      Pengangkatan anggota ABRI dalam Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Daerah dilakukan pengurangan jumlahnya secara bertahap dan selanjutnya diatur dengan Undang-undang.
ABRI sebagai salah satu komponen bangsa sudah seharusnya mengikuti rule of game yang ada di Negara Kesatuan republik Indonesia di mana ABRI berkewajiban untuk mematuhi dan melaksanakan apa yang dikehendaki oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. ABRI sebagai bagian dari rakyat sudah semestinya memerhatikan aspirasi masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan penghapusan dwifungsi ABRI yang dalam aktualisasinya dinilai terlalu besar melibatkan ABRI di dalam tatanan politik dan Pemerintahan.
Di tahun 2000 MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor VI / MPR /2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII / MPR / 2000 yang memisahkan antara TNI (Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara) dan POLRI yang dilanjutkan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia. TNI selanjutnya diembankan tugas untuk menjaga pertahanan negara terhadap ancaman dari luar wilayah kedaulatan nasional, dan POLRI ditugaskan untuk menjaga keamanan negara terhadap ancaman dari dalam negeri. Kedua fungsi tersebut ditujukan untuk menciptakan suatu sistem pertahanan dan keamanan yang tangguh guna menciptakan stabilitas nasional yang kokoh.
Pemisahan antara TNI dan POLRI memiliki arti penting dalam perkembangan sistem pertahanan dan keamanan nasional, sebab diketahui bahwa sesungguhnya  integrasi antara TNI dan POLRI ke dalam struktur ABRI adalah hanya atas kebijakan Presiden Soekarno yang lebih didasarkan pada pertimbangan politis untuk lebih memudahkan pengendalian aparat di tahun 1963 dan bukan didasarkan pada aspek kepentingan nasional. Hal ini menjadi nyata dengan diangkatnya pimpinan tertinggi setiap angkatan menjadi Menteri, sehingga Menteri / Panglima Angkatan Darat sejajar dengan menteri / Panglima Angkatan Kepolisian, semuanya berkedudukan sebagai Pembantu Presiden. Kebijakan integrasi satu atap selanjutnya juga diteruskan oleh Pemerintahan orde baru dengan pertimbangan politis yang sama, meskipun otonomi serta kekuasaan yang luas dari pimpinan kematraan baik Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara serta POLRI diambil alih Panglima ABRI yang sampai 1983 merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan.[16]
Keterlibatan ABRI semakin jauh berkurang dari kancah perpolitikan sejak dihapuskannya Dwifungsi ABRI. ABRI benar-benar menjadi lembaga yang mandiri sebagai kekuatan utama dalam sistem pertahanan dan keamanan nasional sebagaimana yang diatur pada ketentuan Pasal 30 UUD NRI 1945 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara.
Pada perkembangannya TNI sebagai kekuatan utama pertahanan negara yang profesional, menjalani tanggung jawabnya tanpa sedikitpun menyentuh aspek-aspek sosial politik sebagaimana yang terjadi pada rezim sebelumnya, namun kondisi ini juga menjadi suatu realita yang mencemaskan bagi pelaksanaan  tatanan demokrasi konstitusional yang sehat sebagai bentuk perwujudan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi (UUD NRI 1945) khususnya Pasal 28 dan Pasal 28 E UUD NRI 1945 serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Ketentuan Pasal 28 UUD NRI 1945 menyebutkan bahwa : “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.” Selanjutnya pada ketentuan Pasal 28 E Ayat (2) yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.” Pasal 28 E Ayat (3) menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa :
1.            Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
2.            Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
Ketentuan UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 di atas mengarahkan bahwa negara harus memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan hak politik warga negara dan secara lebih khusus lagi berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilihan Umum di Indonesia. Makna dari ketentuan tersebut menegaskan  bahwa segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilihan Umum khususnya mengatur tentang hak pilih warga negara, seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk bisa menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum, sebab pembatasan hak pilih warga negara merupakan salah satu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia.[17]
Salah satu kovenan internasional yang secara khusus mengatur tentang hak-hak sipil dan politik warga negara adalah International Covenant On Civil And Political Righst (ICCPR 1966). Berkaitan dengan hak pilih warga negara ICCPR menegaskan dalam Pasal 25 yang menyebutkan bahwa: “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk tanpa pembedaan apapun seperti yang disebutkan dalam Pasal 2 ICCPR dan tanpa pembatasan yang tidak wajar baik untuk berpartisipasi dalam menjalankan segala urusan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas, selanjutnya untuk memilih dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran suara tertulis dan rahasia yang menjamin para pemilih untuk menyatakan kehendak mereka dengan bebas, dan untuk mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri pada umumnya atas dasar persamaan. Ketentuan di atas ditujukan untuk menegaskan bahwa hak pilih merupakan hak asasi. Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga negara.”
Perkembangan hak pilih warga negara khususnya hak pilih anggota TNI di Indonesia berjalan tidak sesuai dengan ketentuan ICCPR 1966. Sejak pengaturan Undang-Undang Pemilihan Umum 1971 yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969 hingga pengaturan Undang-Undang Pemilihan Umum Tahun 2004 yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tidak ada satupun dari Undang-Undang tersebut yang mengakomodir hak pilih anggota TNI dalam Pemilihan Umum, yang artinya anggota TNI tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum baik untuk memilih maupun untuk dipilih. Misalnya pada pengaturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 khususnya dalam Pasal 145 dan Pasal 64, di mana pada ketentuan Pasal 145 yang menyebutkan bahwa : “Dalam Pemilihan Umum Tahun 2004 anggota TNI dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilihnya.” Selanjutnya Pasal 64 menyebutkan  bahwa: “Calon anggota DPD dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 63 huruf a, harus mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 145  dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan anggota TNI dalam kancah Pemilihan Umum di Indonesia baik dalam kapasitasnya sebagai seorang pemilih maupun sebagai orang yang dipilih mengharuskan dirinya untuk melepaskan status sebagai anggota TNI. Ketentuan Pasal  145 dan Pasal  64 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 mengarah pada kesimpulan bahwa yang berhak untuk menggunakan hak pilih dalam Pemilihan Umum di Indonesia adalah warga sipil biasa yang memenuhi persyaratan sebagai calon pemilih dan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana ketentuan yang diatur pada Bab III tentang Hak Memilih dalam Pasal 13 dan Pasal 14, dan Bab VII tentang Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003.
Skripsi ini bertujuan untuk membahas secara global aspek-aspek yang relevan dalam menganalisis problematika hak pilih anggota TNI yang muncul dalam proses Pemilihan Umum di Indonesia, sesuai dengan perkembangan aturan-aturan hukum positif yang berlaku, untuk dibahas dan dikaji secara mendalam guna menghasilkan titik terang dan jalan yang terbaik bagi seluruh komponen bangsa khususnya anggota TNI agar bisa mengaktualisasikan hak asasinya dalam prinsip-prinsip kedaulatan rakyat pada tatanan  Demokrasi Pancasila melalui ajang Pemilihan Umum.

Syamsuddin Haris dkk., Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), hal. 49.
Saripudin Bebyl, Tata Negara, (Bandung: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 32.
 Ibid., hal. 136.
Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjelaskan pengertian asas-asas  Pemilihan Umum, yaitu :
a.     Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
b.    Umum
Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan undang-undang ini berhak mengikuti Pemilihan Umum. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial.
c.     Bebas
Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
d.    Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
e.     Jujur
Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, setiap penyelenggara Pemilihan Umum, aparat Pemerintah, peserta Pemilihan Umum, pengawas Pemilihan Umum, pemantau Pemilihan Umum, pemilih, serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
f.     Adil
Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum, setiap pemilih dan peserta Pemilihan Umum mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun.
Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2004), hal. 117.
Ciri khas demokrasi konstitusional adalah gagasan bahwa Pemerintah yang demokratis adalah Pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan kekuasaan Pemerintah tercantum dalam konstitusi; maka dari itu sering disebut constitutional government. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, Cetakan kedua puluh dua, 2002), hal. 52.
 TNI, POLRI, dan PNS pada rezim orde baru disebut golongan fungsional
Syamsuddin Haris dkk., Op. cit., hal. 59.
 “TNI” termasuk dalam kategori militer formal / militer regular yaitu tentara yang memiliki militansi yang tinggi menguasai peralatan persenjataan dan penggunaannya secara sah dan memaksakannya kepada semua pihak yang mengganggu / mengancam keamanan Negara baik yang bersifat eksternal maupun yang bersifat internal yang pengendaliannya secara terpusat oleh kehendak Negara.
M.D. La Ode, Peran Militer dalam Ketahanan Nasional Studi Kasus Bidang Hankam di Indonesia Tahun 1967-2000, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), hal. 17.
Bartain Simatupang, “Urgensi Hak Pilih TNI”, Pikiran Rakyat Bandung, 18 Mei 2007, www.pikiran-rakyat.co.id.
Bilveer Singh, Dwifungsi ABRI, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 44.
 Ibid., hal. 45.
Soebijono dkk., Dwifungsi ABRI Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia, (Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995), hal. 85.
 Ibid., hal. 86.
Ibid., Hal. 90.
 Ibid.
Seputar Indonesia, “Bentrok TNI-POLRI”, 7 Februari 2008, hal.6.
 Ibid.Baca : Pasal 25 Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966 (ICCPR 1966)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar