Konseling
itu hakikatnya adalah ilmu terapan, dalam arti bahwa konseling selalu berupaya
menggunakan prinsip-prinsip keilmuannya untuk melakukan intervensi dalam rangka
membantu individu atau kelompok yang dilayaninya. Sebagai ilmu
terapan, konseling memakai acuan berbagai disiplin ilmu antara lain: psikologi,
sosiologi, antropologi, pendidikan dan sebagainya. Namun dari berbagai disiplin
ilmu itu, maka disiplin psikologilah yang selama ini dipandang dominan
mendasari konseling. Kita masih ingat tentang konsep ”psikologi konseling”
yaitu suatu studi atau telaah yang memandang konseling lebih sebagai peristiwa
psikologis yaitu hubungan konselor dan klien yang dilatari oleh nuansa
psikologis. Begitupula, apabila ditinjau dari tujuannya, konseling pada
akhirnya berurusan dengan pengubahan perilaku yang tidak lain merupakan kawasan
kajian ilmu psikologi. Apalagi kalau dikaitkan dengan konseling sebagai
treatmen maka semua pendekatan maupun teknik konseling berasal dari teori dan
aliran psikologi, misalnya : psikoanalisis, gestalt, humanistik ataupun
behavioristik.
Kesadaran
tentang perlunya memasukkan perspektif budaya dalam konseling pada gilirannya
muncul belakangan setelah para pakar konseling membaca perkembangan
bahwa di kalangan ilmuwan psikologi telah menyadari bahwa antara psikologi dan
budaya adalah dua variabel yang tidak bisa dipisahkan, sebagaimana kemudian
muncullah gagasan tentang psikologi lintas bud
Isu
yang mengemuka tentang hubungan antara psikologi dan budaya yang kemudian
muncul dalam gerakan psikologi lintas budaya antara lain didorong oleh
pemahaman baru tentang realitas pertemuan budaya. Globalisasi
kapitalisme yang merupakan arus utama di dunia dewasa ini pada dasarnya telah
mengakibatkan penyempitan dunia. Wilayah dunia seolah semakin mengecil. Tidak
jelas lagi batas-batas antar negara dalam arti kultural. Ditambah lagi dengan
pesatnya pemakaian teknologi cyber yang luar biasa menjadikan seolah-olah dunia
adalah satu adanya. Fenomena demikian membawa konsekuensi berupa adanya
pertemuan orang atau bangsa yang tidak hanya bersifat orang perorang tetapi
lebih dari itu adalah pertemuan antar budaya.
Keniscayaan
tersebut di atas yang oleh sebagian kalangan dinilai sebagai gerak maju
peradaban yang di satu sisi harus dihadapi dan dijalani kalau tidak
ingin dikatakan sebagai komunitas yang tertinggal dan terkesan mengisolasi
diri, sementara itu di sisi yang lain dampak dari kesemuanya itu adalah
terjadinya persoalan benturan budaya. Persoalan yang tidak sederhana ini tidak
hanya menuntut adanya pemecahan atau resolusi. Lebih dari itu perlu penyikapan
yang sehat yang berangkat dari kesadaran dan pemahaman individu dan masyarakat
akan adanya keberagaman budaya yang pada gilirannya menuntut kompetensi mereka
dalam beradaptasi, menerima perbedaan, membangun hubungan yang luas, mengatasi
konflik yang berakar pada perbedaan budaya.
B. Konseling dan Budaya
Isu
tentang hubungan antar budaya atau lintas budaya merupakan persoalan yang pelik
dan kompleks. Tidak saja karena kemungkinan benturan atau gegar budaya yang
ditimbulkan tetapi terlebih-lebih lagi ketika memasuki era global yang
meniscayakan pentingnya pergaulan antar budaya lintas bangsa ini, menimbulkan
ekses yang mengancam jati diri budaya lokal. Wacana tentang budaya
lokal versus global menguatkan hal tersebut. Budaya lokal akan hilang tertelan
budaya global merupakan contoh kecemasan yang selama ini dirasakan oleh
sebagian anggota masyarakat yang peduli terhadap identitas budayanya. Ada beberapa
kemungkinan yang terjadi dari peristiwa tersebut. Antara lain misalnya ada
budaya tertentu yang pendukungnya lebih memilih menghindari konflik dengan
jalan menghindari budaya tertentu dengan pertemuan dengan pendukung budaya yang
lain dan hanya berdiam di kawasan budayanya sendiri. Dengan demikian terkesan
lebih bersikap tinggal atau berdiam dalam kawasan budayanya sendiri. Sepintas
terkesan bahwa dengan hanya mengembangkan interaksi pergaulan di lingkungan
sendiri akan menjadikan warga masyarakat pendukung budaya tersebut lebih aman
dan terhindar dari konflik apalagi gegar budaya akibat bertemu dengan budaya
lain. Contoh kasus misalnya negara tertentu yang sama sekali tidak
mengizinkan beroperasinya sistem internet karena takut akan dampak negatifnya
bagi warganya.
Namun
apabila kita cermati, ternyata penyikapan yang demikian itu ternyata tidak
menguntungkan bagi perkembangan yang sehat bagi suatu budaya. Masyarakat
pendukung budaya tersebut menjadi ekslusif dan terisolasi. Mereka kehilangan
peluang memperoleh akses informasi dan wacana yang berkembang di dunia
internasional yang sesungguhnya menjadi kunci untuk tetap eksis
dalam pergaulan antar bangsa. Mereka ini akhirnya hanya akan menjadi ”katak
dalam tempurung” dan kehilangan kesempatan untuk belajar dan mengaktualisasikan
diri secara lebih baik.
Padahal
budaya yang maju adalah budaya yang mau dan siap membuka diri terhadap
perubahan termasuk perubahan akibat pertemuan dengan budaya lain. Membuka diri
berarti pula memahami dan menerima budaya lain dan siap menerima perbedaan (
Johnson, 1993).
Psikologi
adalah ilmu tentang perilaku manusia. Hal ini mengimplikasikan bahwa psikologi
mau tidak mau turut melakukan pengkajian atau telaah ilmiahnya terhadap masalah
manusia dan perilakunya dalam konteks lintas budaya (Dayakisni dan Yuniardi,
2004: 3). Hal tersebut pada gilirannya juga memberi imbas kepada konseling
sebagai ilmu terapan yang selama ini banyak mengandalkan rujukan kajian teori
psikologi. Dengan kata lain, konseling juga harus membuka diri terhadap
kemungkinan kajian ditinjau dari perspektif lintas budaya.
Sampai
saat sekarang ini, terdapat dua kubu penyikapan terhadap konseling terkait
dengan munculnya konsep konseling lintas budaya. Kubu pertama berasumsi bahwa
perspektif lintas budaya dalam konseling itu tidak penting. Ketika seorang
klien memasuki suatu hubungan yang bersifat membantu (helping relationships),
maka yang menjadi fokus adalah individu bukan budayanya. Pada saat konseling,
seorang konselor tidak berurusan dengan budaya klien, begitu pula tidak bersangkut
paut dengan budaya konselor, melainkan dengan individu klien an sich. Pada
hakikatnya klien sebagai manusia dalam perilakunya merujuk kepada
prinsip-prinsip yang umum dan universal sebagaimana yang dapat
dipelajari dari berbagai teori psikologi yang selama ini ada. Kebenaran
teori-teori psikologi yang menjadi kajian ilmiah dan acuan konseling selama ini
diyakini mampu melintasi batas-batas kultural. Sebagai contoh misalnya, ketika
berbicara tentang hierarki kebutuhan ala Maslov kita tidak membedakan apakah
itu berlaku untuk masyarakat budaya Barat atau masyarakat budaya Indonesia,
karena selama manusianya sama dalam arti aspek psikobiologisnya maka teori
jenjang kebutuhan Maslow berlaku untuk budaya di manapun.
Kubu
yang kedua sebaliknya berpendapat bahwa konseling itu tidak berlangsung dalam
ruang vakum (kosong). Ketika seorang klien memasuki ruang konseling,
perilakunya sebagai fokus layanan bantuan oleh konselor memuat
aspek-aspek tertentu seperti kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai hidupnya, kepercayaan,
pola berpikir klien yang tidak lain adalah faktor-faktor budaya
klien. Jadi sangatlah ceroboh jika kita mengabaikan faktor-faktor budaya pada
perilaku klien dalam proses konseling. Apalagi seorang konselor harus
berprinsip bahwa klien itu unik baik itu secara psikologis maupun ditinjau dari
latar budayanya. Kritik kubu kedua ini terhadap pandangan kubu pertama adalah
jika konselor mengabaikan faktor-faktor budaya klien maka akan muncul bahaya
bagi konseling karena konselor tidak peka budaya, kurang empatik, bahkan bisa
terjebak pada pemaksaan nilai-nilai budayanya kepada klien yang dibantunya.
Dalam
kajian antropologi dikenal konsep yang disebut : ethic dan emic.Kedua
konsep ini pertamakali dikembangkan oleh Pike pada tahun 1950an. Ethicdan emic secara
etimologis diangkat dari kajian antropologi bahasa. Ethicberasal
dari phonetics yaitu studi yang mempelajari bunyi-bunyian yang digunakan dan
ditemukan pada semua bahasa secara universal pada berbagai budaya.
Sebaliknya emic berasal dari kata phonemic yaitu studi yang mempelajari
bunyi-bunyian yang unik pada bahasa tertentu. Pike selanjutnya mengadopsi dua
istilah di atas sebagai titik pandang dalam mempelajari perilaku dalam latar
budaya. Para ilmuwan psikologi yang tertarik pada kajian lintas
budaya kemudian memakai dua konsep itu untuk menjelaskan dua hal yang berbeda,
yaitu, Ethicadalah aspek kehidupan yang muncul konsisten pada semua
budaya sedangkanEmic adalah aspek kehidupan yang muncul dan benar
pada budaya tertentu saja. Upacara pernikahan adalah contoh ethic, tetapi carok
bagi budaya Madura atau harakiri bagi budaya Jepang adalah contoh emic.
Dengan
demikian, asumsi kedua kubu tentang konseling di atas sesungguhnya bertolak
dari konsep antropologi tentang ethic dan emic. Kubu yang mengabaikan
faktor budaya klien dalam konseling bertolak dari konsep ethic yang menyatakan
bahwa pada diri klien berlaku prinsip-prinsip umum dan universal yang secara
konsisten berlaku pada semua manusia. Sebaliknya kubu kedua yang mengakui dan
mempertimbangkan faktor-faktor budaya klien dalam konseling berangkat dari
konsep emic yang mengakui keunikan klien dengan segala latar budayanya.
C. Faktor-faktor Budaya dalam Konseling
Pada
mulanya, baik psikoterapi maupun konseling umumnya hanya mempertimbangkan
sebagai hubungan dua pihak. Yakni klien dan konselor atau terapis. Ivey (1986)
menegaskan bahwa adanya empathetic ke arah klien cukup untuk
hubungan konseling yang efektif. Anggapan dan keyakinan ini telah bertahan
bertahun-tahun, sampai kemudian ada pendapat baru yang belakangan muncul bahwa
setidaknya ada empat faktor masuk dalam arena konseling atau psikoterapi : (1)
Klien, (2) konselor atau terapis (3) latar historis dan budaya klien dan (4)
latar historis dan budaya konselor/terapis.
Dengan
demikian, proses konseling bukan sesuatu yang sederhana terlebih mengesan
sebagai vakum sosiokultural. Bahkan tidak jarang terjadi konseling mengalami
kegagalan karena konselor kurang cakap menangani faktor-faktor budaya.
Ada
pengalaman yang menarik yang penulis temui ketika mendampingi dan mensupervisi
calon Konselor dari Pendidikan Profesi Konselor ketika praktik konseling lintas
budaya di daerah Pasaman Sumatera Barat beberapa waktu lalu. Pada waktu itu
calon konselor yang praktik ini hendak melakukan sesi bimbingan kelompok
terhadap sejumlah murid kelas tinggi Sekolah Dasar. Untuk memecah kebekuan,
Konselor bermaksud mengajak anggota kelompok bernyanyi lagu yang populer ”
Balonku ada Lima”. Tetapi apa yang terjadi? Alih-alih menyanyikan lagu
tersebut, semua anggota kelompok terdiam dan wajah merekapun merah padam. Apa
gerangan yang terjadi? Ternyata ini soal bahasa. Istilah ”balon” ternyata bagi
mereka bermakna lain. Konotasi kata tersebut dalam latar budaya mereka berarti
payudara perempuan. Demikianlah, bahwa perkara bahasa yang
bersifat verbal dan konotasi dalam konteks latar budaya menjadi
faktor signifikan dalam konseling.
Dalam
kasus yang lain, dapat diketengahkan bahwa faktor non
verbal yang sering kita temukan dalam teori konseling, semisal ”sentuhan”
sangat kontekstual dengan budaya. Di sekolah menengah kita, sentuhan pada bahu
klien untuk maksud penguatan oleh seorang konselor akan bisa
dimaknai lain apabila yang melakukan adalah seorang konselor laki-laki ( yang
muda lagi) kepada murid perempuan, misalnya. Hal itu berbeda jika berlaku
sebaliknya yakni Konselor wanita terhadap murid laki-laki.
Situasi
di mana antara konselor dan klien berbeda budaya, lazim dinamakan konseling
lintas budaya atau multi kultural. Sering orang mengartikan bahwa konseling
lintas budaya itu sebagai suatu pendekatan seperti pendekatan-pendekatan
psikoanalisis, behavioristik, gestalt dan sebagainya. Ini lebih diperkuat lagi
dengan pelabelan konseling lintas budaya sebagai angkatan ke IV dalam gerakan
konseling kita. Namun begitu, jika merujuk definisi pada umumnya tentang
konseling lintas budaya, maka jelaslah megimplikasikan bahwa semua konseling
itu hakikatnya lintas budaya, tanpa harus menegaskan secara eksplisit latar
konselor dan klien berdasar penggolongan etnis, agama, ras, dan sebagainya.
Sebagai
contoh misalnya, konselor dan klien boleh jadi sama-sama dari etnis Jawa dan
Muslim. Tetapi pada kenyataannya kalau dianalisis ternyata ada
faktor sub kultur yang menjadikan mereka berdua tetap dalam status lintas
budaya. Misalnya setelah dicermati ternyata konselor berasal dari lapis
masyarakat kelas menengah sementara klien berasal dari kelas masyarakat bawah.
Konselor berasal dari generasi tahun delapanpuluhan sementara klien berasal
dari tahun duaribuan. Kedua variabel subkultur tersebut sudah tentu akan ikut
berpengaruh dalam proses komunikasi konseling.
Relevan
dengan hal tersebut Draguns (1989) mencoba menyodorkan beberapa poin kunci yang
patut dipertimbangkan oleh semua konselor baik itu konselor yang berlabel
konselor multikultural atau konselor yang praktik di sekolah dan masyarakat
pada umumnya :
Konseling bukanlah produk
budaya Indonesia, ia dibawa dari Amerikapada tahun enampuluhan oleh para pakar pendidikan kita
seusai belajar di sana. Karena bukan produk budaya kita, maka sebagaimana
tradisi ilmu sosial, maka konseling di Indonesia sebagai disiplin ilmu tidak
lepas dari sifat ahistoris.
Beberapa tinjauan latar
sosial-budaya dapat menjelaskan bahwa ada kesenjangan yang menjadikan konseling
merupakan ”barang asing” dalam masyarakat kita. Konseling menurut aslinya
muncul dari latar masyarakat Amerika yang individualis, egaliter dan
otonom. Sementara penerapannya di sini harus berhadapan dengan latar masyarakat
yang berlawanan karakteristiknya yakni : komunal, deterministik. Sebagai contoh
misalnya implementasi konseling di sekolah : bagaimana konseling dapat
terselenggara efektif, jika menurut versi aslinya berpijak
pada kesetaraan hubungan antara konselor dan konseli, di sekolah kita
termodifikasi jadi hubungan guru dan murid? Bagaimana konseli mampu mengembil
keputusan secara otonom sementara budaya kita malahan mengutamakan pelibatan
orang tua dalam perencanaan hidup?
Bertolak dari uraian di
atas, maka isu indigenisasi konseling adalah persoalan yang relevan dan perlu
dikaji lebih dalam oleh para praktisi konseling kita. Harus disadari bahwa
tradisi keilmuan di negara kita tidak lebih dari bayang-bayang dari keilmuan
di dunia barat. Semua ilmu konseling yang diterapkan di
Indonesia tidak lebih dari kloning teori Rogers, Ellis,
Krumboltz, Charkuff dan sebagainya. Nyaris tidak ada satu pun pakar konseling
yang memasuki rimba keilmuan konseling dengan melakukan rekonstruksi yang lebih
berbasis budaya pribumi. Ada satu dua yang mulai merintis misalnya Munandir
(1990) dengan mencoba mendedah corak konseling ala Indonesia sebagai wilayah
interseksi antara disiplin psikologi, agama dan budaya. Prayitno ( 2002) mencoba
menelurkan teori konseling Pancawaskita yang sekarang ini dikembangkan pada
program pendidikan profesi konselor. Dengan demikian, tantangan yang ada di
depan kita adalah bagaimana mengupayakan semacam indigenisasi konseling.
Isu indigenisasi
konseling setidaknya berdiri di atas beberapa alasan. Yang pertama, kita
menyadari bahwa hampir totalitas tubuh ilmu konseling yang meliputi
asumsi-asumsi nilai, preferensi ideologis, apriori kognitif dan orientasi
filsafat berasal dari Barat. Padahal tidak semua kecenderungan yang disebut itu
memiliki kecocokan dengan latar sosial dan budaya kita. Akan jauh lebih
strategis bahwa dalam hal pengembangan ilmu konseling tidak begitu saja menelan
mentah dari transfer pemikiran luar-Indonesia. Setidak-tidaknya harus ada adaptasi
dan modifikasi atau bilamana mungkin membangun konstruk teori konseling ala
Indonesia yang ”membumi” yang didasarkan atas temuan lokal yang diharapkan
dapat menjawab langsung permasalahan di masyarakat setempat. Yang kedua, akibat
dominasi pemikiran ”asing” ( teori konseling ala Barat ) tersebut ,
sering terjadi para konselor kita baik dalam teori maupun praktik terjebak pada
kegiatan mengulang-ulang dan mengambil begitu saja teori asing tersebut tanpa
kritik terhadap hal-hal substansi seperti nilai-nilai filosofis.
Ada ilustrasi menarik
yang penulis dapatkan dari ceritera Profesor Prayitno tentang Carl Rogers
dengan teori berpusat pada pribadi ketika menangani konseli seorang wanita
single parent yang gelisah dengan perilakukumpul kebo dengan pacarnya.
Rogers tidak pernah memusingkan dengan apakah perilaku si wanita itu normatif
atau tidak . Sesuai dengan nilai-nilai individualitas barat, baginya yang
penting adalah pada peneguhan konsep diri tanpa harus mengurasi rasa kasih
sayang kepada satu-satunya anak puterinya (yang konseli khawatirkan akan
menilai ibunya sebagai wanita ”gampangan”) toh setelah dewasa si anak akan
mengerti mengapa ibunya berperilaku seperti itu. Sekarang, marilah kita
bayangkan bagaimana apabila kasus yang sama diterapkan di Indonesia? Apa yang
akan terjadi?
Pada kenyataannya, banyak
kasus praktik konseling terutama di sekolah yang salah kaprah akibat menelan
begitu saja teori dari barat. Konon pernah terjadi seorang guru Bimbingan
danKonseling di suatu sekolah mencoba menerapkan teknik aversif pada siswa yang
ketahuan merokok. Diberinya siswa lebih dari sebungkus rokok untuk dihisap si
siswa dengan harapan agar ia jera. Secara teori mungkin benar, tetapi apakah
treatmen yang demikian sudah tepat di terapkan kepada siswa yang sedang
dalam masa mencari jati dirinya itu? Alih-alih bukannya jera atau kesembuhan
yang ia dapatkan tetapi justru menambah masalah baru dengan trauma-trauma
tertentu.
E. Penutup
Hambatan praktik pelayanan konseling di
Indonesia adalah salah satu kenyataan empiris yang menguatkan dugaan bahwa
penerapan konseling tanpa mempertimbang-kan aspek budaya yang berlaku di
masyarakat akan berujung pada kegagalan. Hal ini disebabkan faktor ahistoris
yang melekat pada karakter ilmu pengetahuan yang seringkali begitu saja
diimplementasikan, tanpa melihat bahwa filsafat, nilai-nilai dari mana ilmu
pengetahuan itu berasal kemungkinan berbeda atau bahkan bertentangan sama
sekali.
Pemribumian atau indigenisasi konseling
merupakan jawaban atas persoalan tersebut. Namun upaya itu tidak serta merta
mudah diwujudkan, tetapi setidak-tidaknya perlu mulai memikirkan modifikasi
model konseling ala Indonesia, sebagaimana telah dirintis oleh Prof. Prayitno melalui
model Konseling Pancawaskita.
Oleh:
Heru Mugiarso: Ketua Pendidikan Profesi Konselor Unnes
F. Daftar Bacaan
ü Dedi Supriadi, 2001. Konseling
Lintas Budaya : Isu-isu dan Relevansinya di Indonesia (Pidato
Pengukuhan Guru Besar UPI) . Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia
ü Munandir.1990. Bimbingan dan
Konseling Indonesia : Corak yang Bagaimana?(Pidato Pengukuhan Guru
Besar IKIP Malang) Malang : Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
ü Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi. 2004.Psikologi
Lintas Budaya. Malang : UMM Press
ü Pedersen, Paul dan kawan-kawan.1980.Counseling
Across Culture. USA : The University of Hawai
ü Prayitno. 2002. Konseling
Pancawaskita. Padang : Jurusan Bimbingan dan
Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan UNP
Las Vegas, NV - JT Marriott International
BalasHapusView customer 세종특별자치 출장샵 reviews 안동 출장마사지 and online store photos and videos 하남 출장샵 at JT Marriott International Hotel 화성 출장안마 and Casino 김제 출장안마 Las Vegas, Las Vegas, NV, United States.